Sekolah adalah tempat kita meneguk ilmu, tempat kita belajar. Kiranya beruntunglah kita yang telah mengenyam pendidikan formal dari usia TK bahkan sampai ke perguruan tinggi. Sekolah ataupun universitas adalah institusi yang memang disiapkan sebagai tempat kita menggali ilmu, namun sejatinya tempat kita menggali ilmu bukanlah sebatas pada bangku-bangku formal tersebut. Justru di Universitas bernama kehidupanlah ilmu kita senantiasa berdiorama, meletup-letup, begerak gerak menyusup setiap neuron otak. Terlau banyak hal yang tidak bisa kita dapatkan di bangku sekolah/kuliah. Dan menjejaki setiap entitas kehidupan adalah sebuah mata kuliah yang tak tergantikan. Bertemu dengan orang-orang yang berbeda usia, kasta, pemikiran, suku, visi hidup, dst. Adalah sebuah pembelajaran. Pembelajaran yang begitu manis aduhai…
Allah memang begitu adil sempurnanya memperlakukan kita. Setiap jenak-jenak langkahnya selalu disiapkan agar kita senantiasa tidak berhenti belajar. Itulah pesona hakikat sebuah makna hidup yang saya nikmati betul khasanahnya. Dulu ketika saya baru saja kembali berafiliasi di kota kelahiran saya, rasa-rasanya yang saya rasakan semuanya adalah “konsep tidak ideal” . Hummm….awalnya agak berat, tapi bukan bermaksud mengeluh, saya fikir wajar saja jika di awal-awal kita mengalami hal tersebut. Tapi ternyata saya menemukan sesuatu yang lain, kawan! Ada ilmu yang saya dapatkan, struggle! Konsep tentang pertahanan…..
Itu baru satu buah paragraph ilmu yang saya dapat, Di bab mata kuliah lain misalnya. Saya di daulat untuk mengisi pengajian yang notabene pesertanya sudah berkeluarga.alias ibu-ibu, waduw!awalnya agak keder juga, karena saat itu baru beberapa bulan saja saya “mutasi mengaji”. Terlebih dengan tempat pengajian yang jauhnya berkilo-kilo meter pula. Yah inilah dakwah yang sesungguhnya, kawan! Ada kejadian yang mungkin akan saya ingat terus. Ternyata peserta pengajian tersebut ada beberapa yang dulunya aktivis kampus juga. Ketika sesi tanya jawab saya disodori pertanyaan tentang bagaimana bertahan di lingkungan yang benar benar berbeda, ketika kita ‘agak susah’ mendapatkan tsaqofah, ketika konsep ideal yang kita punya tidak bisa dilahirkan, dulu ketika di kampus begini dan begitu, tapi ketika dakwah di kampung halaman sendiri,,, berat rasanya….
Waw Luar Biasa, menusuk-nusuk ulu hati, mengena banget! Allah memang telah merencanakan semuanya begitu teratur, bayangkan! disaat saya mengalami hal yang sama, saya dituntut untuk memberikan jalan keluar, jujur saja sebetulnya saya pun ingin menanyakan itu pada “guru ngaji”, hanya saja saya masih mengendapkannya. Alhamdulillah,,,, kita sharing bareng, jawaban jawaban itu pun meluncur diplomatis dari si mulut, (Ya Allah jadikan apa-apa yang saya ucap adalah yang saya perbuat. Aamin) Karena hakekatnya itulah jawaban yang patut untuk saya kemukakan buat saya pribadi, saat itu seolah olah mutarobi saya yang sedang share, mengambil ilmu. Padahal sejatinya saya sendirilah yang banyak mengambil pelajaran darinya. Duh gusti Allah, maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?. Setiap detik yang saya lewati semakin banyak pulalah hutangku padaMU, tak sanggup aku membayar semuanya. Terima kasih Rabb.. atas setiap detik tambahan mata kuliah kehidupanMu…
Memang tak bisa dipungkiri di satu sisi ada beberapa degradasi ilmu yang saya alami,contoh konkritnya, pasca kuliah saya jarang sekali berdiskusi tentang masalah sosial, kebangsaan, politik, dst. Bahkan hampir tidak pernah. Berbeda sekali keadaannya ketika kita di kampus, teman-teman kita bisa diajak berdiskusi, juga dalam hal tsaqofah ibadah misalnya, dulu ketika kuliah saya ikut talaqi, sejatinya saya meneruskan itu sampai program tahfidz. Tapi sampai di kota kelahiran saya, karena fasilitasnya masih terbatas (walaupun ada program tahsin) tapi kelas untuk tahfidz talaqi belum ada, akan tetapi daripada ilmu yang sudah ada pada hilang, jadilah saya bersikukuh tetap ikut tahsin.walaupun materinya seperti mengulang….,secara kasat mata sepertinya ilmunya jadi stagnan, tapi lagi-lagi ini adalah mata kuliah ‘mentransfer ilmu’, boleh jadi ilmu teoritis yang saya dapat itu-itu saja, tapi Subhanallah ketika dulu saya hanya punya konsepan mendapatkan materi, di halaqoh tahsin ini saya dituntut untuk bisa mengajarkan juga..Saya fikir begitupun dengan konsepan ilmu-ilmu lain yang kita miliki, kita harus mampu menyalurkan energi itu, mentransfer ilmu.
Bab mata kuliah lain secara sadar saya dapatkan ketika bergelut dengan dunia anak-anak, menjadi “the Nanny” buat malaikat-malaikat kecilku, ke 6 keponakan ku tersayang. Kemudian rencana Allah juga yang mengharuskan aku bergelut dengan dunia ank-anak yang ebih luas, menjadi pendidik buat mereka, bahkan kemudian disetiap hari pertemuanku dengan orang-orang yang beragam pejabat perlente, orang-orang berkelas high, tukang sayur, tukang ojek, tukang mie ayam tetanggaku, ibu-ibu kompleks, bunga-bunga liar, kupu-kupu yang bersorak itulah hakikat universitas kehidupanku yang sesungguhnya. Rabb,,, semakin mendesir-desir kekagumanku padaMu, tentang entitas sebuah kebermaknaan hidup. Tentang Universitas bernama kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar